Dapatkan motivasi, artikel motivasi, kata bijak, inspirasi, semangat kerja, semangat belajar, dan tips sukses OR

Politik Berintegritas: Antara Persepsi dan Harapan

Di zaman dahulu kala, hiduplah seorang maharaja yang sangat sombong, dan selalu membayangkan dirinya sebagai seorang bangsawan yang berpakaian paling indah. Ia membuat sebuah sayembara, bahwa siapapun yang bisa membuat baju yang terbuat dari kain yang paling sempurna, akan mendapatkan hadiah. Seorang penjahit jenius maju ke depan, dengan tawaran membuatkan pakaian yang terbuat dari kain yang sangat halus. Penjahit itu berkata bahwa kain itu adalah terbaik dari yang paling baik, sangat halus dari yang paling halus, sehingga tidak dapat dilihat dan tidak dapat dirasakan oleh kulit. Maharaja sangat gembira sekali. Ketika pakaian itu tiba, para pembantu baginda raja hanya dapat menyatakan rasa kagum dan termangu terhadap selera maharaja. Ketika maharaja itu keluar dengan menunggang kuda untuk memperlihatkan kepada rakyatnya, mereka hanya berani bertepuk tangan. Sampai pada akhirnya terdengar suara polos seorang anak kecil yang tidak berdosa, “Kenapa maharaja tidak memakai baju apapun?” (David C. Korten, 1999)
Politik Berintegritas: Antara Persepsi dan Harapan

Kisah dongeng di atas, hanyalah metafora atau bermakna sindiran kepada para pemimpin dan pemegang kekuasaan yang sedang mengalami euforia, rasa percaya diri yang berlebih, dengan rentetan retorika yang semu. Di sisi yang lain, rakyat dikelabuhi dan ditekan untuk diam. Hingga pada suatu waktu, terdengar letupan polos yang menyentak kesadaran mereka. Sayangnya, mereka yang ada di atas bangku kekuasaan itu malahan marah, lalu berbalik menyerang membabi buta. Dan kisah pun masih belum berakhir.

Di negeri ini, politik telah banyak mengalami penyempitan makna, demokrasi kehilangan substansi. Politik diterjemahkan sebatas cara mencapai kekuasaan, dan kesempatan mengeruk uang sebanyak mungkin. Menurut F. Budi Hardiman (2013), “Ketika pasar menjadi paradigma dalam mengelola negara, maka terjadilah kekaburan batas-batas antara negara dan pasar, politik dan dagang, perilaku kenegarawanan dan perilaku komersial. Persoalan dalam relasi negara - pasar adalah munculnya kesenjangan yang frontal pada orang-orang yang datang ke panggung transaksional, sehingga mereka yang tak punya uang akan tersingkir dengan sendirinya.”

Padahal, politik sesungguhnya merupakan sarana mencapai kondisi sosial masyarakat yang layak. Politik adalah usaha mencapai tatanan masyarakat yang baik dan berkeadilan (Peter Merkl, 1967; dikutip dari Miriam Budiarjo, 2008, hlm. 15-16). Jabatan politik hanyalah alat untuk dapat menghasilkan kebijakan yang memihak kepentingan warga. Maka, politik haruslah berada dalam peta jalan tunggal menuju kesentosaan masyarakat. Jika terjadi bias dan pemandulan fungsi politik secara terus menerus, maka muncul patologi politik yang mengancam kehidupan demokrasi dan negara.

Sementara itu, demokrasi patut dikembalikan pada akarnya, yaitu dari dalam masyarakat sendiri. Memulihkan dan membangun demokrasi bisa menjadi terapi atas patologi politik yang mendera para pemegang kekuasaan. Satu-satunya jalan ialah berjuang bersama-sama di semua sektor, di seluruh garis ras, jenis, umur, yang sudah bekerja dan yang masih menganggur, di kota maupun di pedesaan.

J. Kristiadi (Peneliti senior CSIS) menyatakan, demokrasi adalah tatanan kekuasaan yang berprinsip kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, siapapun yang memerintah atau pemegang kekuasaan harus mendapat mandat dari rakyat. Sejarah panjang demokrasi telah memberikan bukti, bahwa sebagai tertib masyarakat dan sebagai sistem politik, demokrasi mempunyai kekenyalan dalam berdaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Hal itu terutama disebabkan masyarakat yang demokratis selalu menjunjung tinggi martabat manusia, memiliki kemampuan diri dan daya dorong dalam mengkawal, mengawasi dan membatasi perilaku pemegang kekuasaan.

Benang Merah Integritas dan Politik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan definisi “integritas” sebagai sebuah kesatuan dan keselarasan akan pikiran, sikap dan perilaku terhadap nilai-nilai tertentu dalam tingkat individu yang dilakukan dengan penuh komitmen secara konsisten. Nilai-nilai yang membangun sebuah integritas adalah kejujuran, keadilan, bertanggung jawab. Kejujuran dijalankan dalam bentuk mengutarakan sikap, pendapat pribadi/organisasi yang mengandung unsur kebenaran, kebaikan dan kegunaan, kesamaan antara ucapan, tulisan, perbuatan dengan fakta. Keadilan dijalankan dalam bentuk memenuhi hak orang lain, mematuhi kewajiban yang mengikat diri sendiri, tidak berpihak pada golongan/kelompok tertentu, namun berpihak hanya pada kebenaran. Tanggung jawab dijalankan dalam bentuk teguh hingga terlaksananya tugas, tekun melaksanakan kewajiban hingga selesai, dan bersedia menerima konsekuensi dari apa yang dilakukan.

Sejak tahun 2012 hingga 2015, KPK berusaha untuk terus mengembangkan konsep integritas yang kemudian disosialisasikan dan ditanamkan dalam berbagai program pemberantasan korupsi. KPK berkeyakinan bahwa keutuhan nilai-nilai luhur dari sikap dan perilaku seseorang merupakan modal utama bagi keberhasilan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pembangunan perlu diwujudkan di berbagai tingkatan mulai dari tingkat individu maupun tingkat organisasi dan juga di seluruh sektor, terlebih sektor politik. Membangun integritas di sektor politik menjadi begitu penting terutama jika dilihat dari perspektif pemberantasan korupsi.

Karena modus korupsi sesungguhnya satu: tidak adanya integritas sehingga muncul manipulasi jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Sebagian besar pemegang kekuasaan mudah kehilangan integritas, lupa berpikir dan bertindak untuk kepentingan rakyat. Mereka menggunakan kewenangan dalam menentukan kebijakan publik semata kepentingan diri sendiri. Mereka menggadaikan jabatan demi setumpuk uang. Etika jabatan publik tak lagi menjadi panduan moral. Dari sinilah muncul apa yang disebut korupsi politik.

Meminjam gagasan Peter Larmour (2011), timbulnya korupsi di bidang politik berakar pada tiga domain. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan. Para pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kedua, peminggiran suara rakyat. Suara rakyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan dimana kebijakan tersebut berdampak langsung pada masyarakat. Partisipasi publik justru ditekan dan dimanipulasi. Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis. Yakni, persekongkolan antara pejabat pemerintah dengan pebisnis yang berpotensi menggerus hak hidup rakyat.

Terwujudnya politik yang berintegritas merupakan modal berharga demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi. Sebaliknya, rendahnya integritas dalam berpolitik dapat membuat kekuasaan menjadi bumerang pembunuh karena melayani nafsu pribadi dan kelompoknya.

Dalam era demokrasi, pemilu sebagai praktik politik praktis merupakan faktor penting yang dapat menjadi instrumen kontrol masyarakat kepada (calon) pemegang kekuasaan. Pemilu melahirkan pemimpin yang mengemban amanah untuk melayani dan mensejahterakan rakyatnya dengan integritas terbaik. Pemilu juga berperan besar dalam menyaring para calon pemimpin tersebut berdasarkan referensi tertentu dari pemilih, diantaranya referensi kadar integritas calon pemimpin, indikasi politik uang, moral kader partai, dan akuntabilitas partai politik.

Pengetahuan dan kesadaran mengenai politik yang berintegritas adalah variabel yang paling perlu menjadi perhatian dan terus disosialisasikan secara masif, disebabkan masyarakat masih memiliki pemahaman yang rendah terhadap definisi integritas, politik uang, dan referensi dalam memilih calon pemimpin dan partai politik yang berintegritas. Masyarakat masih percaya dan ada harapan untuk menemukan figur calon pemimpin yang berintegritas, untuk itu diperlukan pula model dan mekanisme dalam memilih calon pemimpin dengan cara yang berintegritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar