Ir. R. Djuanda Kartawidjaja atau Ir. Haji Djuanda adalah contoh dari sedikitnya sosok yang memegang teguh integritas dan idealisme ketika terjun ke politik dan pemerintahan. Dua hal inilah yang membuatnya istiqomah memihak kepentingan rakyat dalam setiap perjuangannya. Kontribusi Djuanda bagi Indonesia tiada diragukan. Sayang, jejak besar pengabdiannya nyaris tak bersisa di ingatan sebagian besar generasi muda saat ini.
Sebagai pahlawan nasional, mantan Perdana Menteri yang juga pernah 14 kali terpilih sebagai menteri tersebut, namanya tak lebih dikenal sebagai nama jalan, bendungan, bandara, dan stasiun kereta. Coba saja menyebut kata Djuanda, maka yang mula-mula terbersit adalah bandara internasional di Surabaya yang bangunannya begitu megah dan modern.
Sedangkan mengenai sosok Djuanda sendiri, sang pemilik nama itu, jangan-jangan wajahnya pun tidak ada yang mengenal. Tentu saja ironis. Karena jejak pengabdian tokoh yang dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 ini, sesungguhnya teramat besar dan bisa dengan mudah ditemukan. Karya pengabdiannya yang cukup fenomenal adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi ini menyatakan bahwa laut Indonesia meliputi laut di sekitarnya, yakni di antara dan di dalam kepulauan Indonesia. Dan itu, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), dikenal sebagai negara kepulauan.
Dekalarasi Djuanda mempunyai nilai yang sangat tinggi sebagai pemersatu dan persatuan bangsa. Bayangkan, di masa Hindia Belanda, laut-laut antara pulau Indonesia dianggap sebagai laut bebas. Artinya, siapa saja boleh mengambil kekayaan alamnya, termasuk ikan. Orang bebas melakukan segala hal di kawasan itu. Berkat Deklarasi Djuanda, laut itu menjadi penghubung antarbangsa, antarpulau.
Deklarasi Djuanda menegaskan antara darat, laut, dasar lautnya, udaranya, seluruh kekayaannya, semua untuk mempersatukan seluruh Indonesia. Mengapa menegaskan? Karena pada masa itu, Belanda menyebut bahwa yang dimaksud tanah air, hanya tanah dan air yang ada di darat, dan di sepanjang pantai. Djuanda mampu melihat jauh ke depan. Sehingga ia berani mengumumkan kepada dunia bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dan di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Pernyataan yang dibacakan Djuanda dalam sidang kabinet kala itu, menjadi landasan hukum bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang yang dipergunakan untuk menggantikan Territoriale Zee and Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939. Terutama, pasal 1 ayat 1 yang menyatakan wilayah teritorial Indonesia hanya 3 mil diukur dari garis air rendah setiap palung. Hal ini mengakibatkan wilayah perairan antara pulau-pulau di Indonesia menjadi kantung-kantung internasional yang dapat dimanfaatkan oleh pihak luar.
Faktanya, pada waktu itu banyak kapal perang Belanda yang melintasi laut-laut dalam kita menuju Irian Barat dengan memanfaatkan hukum teritorial laut tahun 1939 itu. Deklarasi Djuanda, menjadi titik awal bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan batas-batas kedaulatan negerinya. Ya, setelah melalui perjuangan selama lebih dari 25 tahun, Deklarasi Djuanda diakui oleh PBB, dan diakui secara internasional sejak 16 November 1994. Artinya, butuh 37 tahun sejak Deklarasi Djuanda Kesatuan Kewilayahan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Saat ini dengan diberlakukannya Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil dari garis dasar perairan, maka wilayah yang dapat dikelola ekonominya termasuk wilayah laut seluas delapan juta kilometer persegi, enam juta kilometer persegi di antaranya adalah wilayah perairan laut.
Idealisme Djuanda
Djuanda adalah anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Sang ayah, kemudian memasukkan Djuanda ke sekolah menengah khusus orang Eropa, yaitu Hogere Burger School (HBS) di Bandung, dan lulus tahun 1929.
Pada tahun yang sama, dia masuk ke sekolah Tinggi Teknik (Technische Hooge School), sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Meski bersekolah di sekolah Belanda, namun, seperti halnya tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya, Djuanda memilih menjalani kehidupan seperti halnya masyarakat kebanyakan.
Semasa muda, Djuanda hanya aktif dalam organisasi non-politik, yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939. Djuanda seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Dia meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara. Selulus dari Technische Hogeschool (1933), dia mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta dengan gaji seadanya.
Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar. Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi di Jawatan Irigasi Jawa Barat. Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambilalihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan objek-objek militer di Gudang Utara Bandung. Kemudian, Pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura, sebelum kemudian diangkat sebagai Menteri Perhubungan.
Selain itu, dia pun pernah menjabat sebagai Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, ketika bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI. Di luar jabatan-jabatan itu, Djuanda juga membangun sistem nasional transportasi darat, laut, dan udara.
Djuanda juga memprakarsai maskapai penerbangan nasional Garuda, Akademi Penerbangan di Curug, dan Akademi Pelayaran di Jakarta. Mungkin tak banyak orang tahu, bahwa Djuanda adalah salah satu pelopor perancangan dan perencanaan pembangunan nasional yang detail dan sistematis lewat Rencana Lima Tahun yang juga diistilahkan sebagai Rencana Djuanda. Djuanda sendiri, akhirnya wafat di Jakarta, 7 November 1963, karena serang jantung.
Di masa Agresi Militer II Belanda, Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda. Dia kemudian dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak. Ya, Djuanda memang bukan sosok oportunis. Kebijakan, jabatan, dan kesempatan yang dimilikinya tak membuatnya rakus demi kepentingan sendiri. Kondisi yang sangat kontras dengan keadaan saat ini.
Biografi Singkat :
Djoeanda Kartawidjaja
Ir. H. R. Djoeanda Kartawidjaja lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar