Di antara sosok yang pernah memimpin DKI Jakarta, Bang Ali bisa jadi yang paling tegas, jujur, dan bersih. Berdesak-desakan naik bus kota pun dilakoni.
Tokoh langka itu bernama Ali Sadikin. Bang Ali, begitu dia kerap dipanggil, tidak hanya tegas namun juga jujur dan bersih. Dilantik pada saat “baru” 37 tahun, ternyata Bung Karno tidak salah memilihnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Faktanya, Bang Ali secara perlahan berhasil membangun Jakarta menjadi kota metropolitan yang setara dengan berbagai kota internasional lain. Dan itu, dilakukan dengan tidak mudah, dengan berbekal anggaran yang hanya Rp66 juta per tahun.
Dalam membangun Jakarta, Bang Ali yang memang tegas, jujur, dan bersih, tidak mau hanya duduk di belakang meja. Seperti diceritakan dalam biografinya, Bang Ali. Demi Jakarta 1966-1977, dua hari Bang Ali berkeliling Jakarta naik bus kota dan turut berdesak-desakan dengan penumpang lain.
Dari sana Bang Ali tahu, bahwa transportasi Jakarta sudah parah dan tidak ada sistem. Penumpang bisa naik dan turun di mana saja, menunggu sambil kehujanan dan kepanasan. Tidak ada terminal bus. Selain itu, orang juga bisa menyeberang jalan seenaknya dan berlarian mengejar bus kota di mana saja.
Di tengah orang-orang yang berdesak-desakan dan berlarian, di tengah bau apek, bau keringat, Bang Ali kemudian melakukan tanyajawab dengan para penumpang bus. Dari sanalah Bang Ali tahu, apa yang diperlukan. Maka, dibangunlah terminal di Lapangan Banteng, Blok M, Cililitan, Pulogadung Grogol, dan banyak sekali pemberhentian bus (shelter) di tengah rute bus. Selain itu, Bang Ali pun mendirikan jembatan penyeberangan untuk mengamankan para penyeberang jalan.
Dalam biografinya itu, Bang Ali mengatakan bahwa alasannya mendahulukan angkutan umum, karena orang Jakarta harus bergerak, harus gampang bepergian dan berusaha. Ratusan ribu orang, tua-muda, memerlukannya. Terutama kalangan tidak mampu.
Bukan hanya membangun infrastruktur, Bang Ali juga tidak segan-segan mengatur lalu lintas jika dirasa perlu. Suatu saat, ketika hujan mengguyur dan menyebabkan genangan air dan kemacetan, Bang Ali turun dari kendaraannya. Di tengah hujan yang membasahi tubuhnya, Bang Ali mendadak menjadi polisi sukarela. Di saat satu tangan menyetop kendaraan dari arah tertentu, tangan yang lain menggerakkan kendaraan dari arah berbeda untuk melaju. Tidak sekali dua kali Bang Ali melakukan itu. Bahkan, dia pun tidak peduli dengan bajunya yang basah dan kotor akibat hujan.
Bang Ali juga turun langsung ke berbagai pelosok di Jakarta pinggiran. Dengan mengenakan sandal dan kaos, antara lain Bang Ali turun ke berbagai kelurahan di Pondok Bambu. Di sanalah Bang Ali menemukan fakta bahwa banyak warga Jakarta yang hidup mengenaskan. Tidak tanggung-tanggung, di hampir semua kelurahan yang dikunjungi, Bang Ali menemui banyak anak yang kekurangan gizi. Berperut buncit, gusi merah, dan mata melotot. Dari sanalah Bang Ali kemudian mencari solusi, untuk mengatasi persoalan sosial yang ditemuinya itu.
Selain itu, Bang Ali pun bekerja keras untuk mengatasi banyaknya gelandangan di Jakarta. Pernah suatu malam, ketika melewati Taman Surapati, Bang Ali melihat keganjilan pada patung Kartini. Betapa tidak, jika biasanya patung tersebut terdiri atas tiga patung, namun malam itu terlihat berjumlah empat. Bang Ali kemudian meminta sopir berhenti dan melihat keanehan tersebut.
Apa yang dilihat? Ternyata “patung” keempat yang dilihat adalah gelandangan tua yang sakit, yang tidur di antara ketiga patung tersebut. Bang Ali sempat tersentak, mengapa selama ini masalah gelandangan tidak diperhatikan. Setelah itu Bang Ali meminta polisi untuk membawa gelandangan tersebut ke rumah sakit dan memberinya makan, sembari mengambil langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi akar persoalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar