Agus Salim memiliki segalanya untuk bisa mengumpulkan kekayaan. Ia pintar, memiliki jaringan yang luas, juga memiliki jabatan dan kekuasaan. Namun ia memilih hidup bersahaja tapi penuh keriangan demi mempertahankan integritas.
Sepanjang hidup, Haji Agus Salim kesulitan mencari nafkah karena kritis terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Hingga tutup usia, Agus Salim tinggal di rumah kontrakan. Siti Aisah, salah seorang putri Agus Salim bercerita, sejak kecil ia sudah terbiasa berpindah rumah. Sang ayah, kata dia, telah berpuluh kali pindah rumah kontrakan.
Ketika keadaan keuangan membaik, ia pindah ke rumah yang lebih baik. Namun ia lebih sering tinggal di kontrakan kecil dan sederhana. Keluarganya tidak cuma pindah di dalam Kota Jakarta, tapi hingga pindah ke Majalengka, Surabaya, bahkan Madura. Meski menjadi kaum "kontrakan", kehidupan keluarganya selalu diliputi keriangan. Menurut Bibsy demikian perempuan 48 tahun ini biasa dipanggil, selama hidupnya ia tidak pernah melihat kedua orangtuanya bertengkar atau memperlihatkan sedang susah di depan anak-anaknya. Sebaliknya, setiap berkumpul mereka selalu bergembira dan menghibur anak-anaknya.
Kesederhanaan hidup Agus Salim juga terungkap dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1984). Dalam buku itu, Kustiniyati Mochtar menulis, dengan pendidikan dan kemampuan tinggi, sebenarnya Agus Salim dapat hidup enak bila mau bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Namun, lantaran sikapnya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Belanda, ia kesulitan mencari nafkah. Akibatnya, Zainatun, istri Agus Salim harus memutar otak agar dapat memberi makan anak-anaknya karena kerap kekurangan uang untuk belanja.
Suatu ketika, karena tak punya uang untuk membeli lauk-pauk, Zainatun pun membuat nasi goreng lalu makan bersama. Nasi dimakud, memang benar-benar nasi saja, tanpa lauk sebagai pelengkap. Selain itu, mereka juga pernah hanya makan nasi panas plus kecap, karena tidak punya uang untuk membeli sayur. Kustiniayati juga menggambarkan Zainatun sebagai istri dan ibu yang sabar dan tidak pernah mengeluh.
Misalnya, suatu ketika, rumah kontrakannya bocor. Zainatun tidak bersedih, ia kemudian menampung air hujan dengan ember lalu mengajak anak-anaknya membuat perahu kertas untuk dimainkan di ember yang berisi air hujan. Agus Salim dan keluarganya memang selalu hidup riang meskipun hidup sederhana yang sebenarnya lebih mendekati hidup dalam kemiskinan.
Menurut Agustanzil Sjahroenzah, cucu Agus Salim, kakeknya sering pindah rumah karena dia tidak kenal kompromi dan teguh memegang prinsip. Misalnya ketika menjadi redaktur di sebuah media, kakeknya memilih keluar dari media tersebut karena dilarang menulis tentang sesuatu hal. Keteguhan Agus Salim dalam memegang prinsip juga diungkapkan Mohamad Roem, mantan Menteri Luar Negeri yang juga salah seorang sahabat Agus Salim ini, mengatakan, pada 1925, Agus Salim pernah diminta menjadi Pemimpin Redaksi Hindia Baroe.
Koran ini dimiliki orang Belanda. Salim menerima tawaran itu dengan satu syarat: diberi kebebasan dalam mengelola. Syarat itu diterima. Namun seiring waktu, para pemilik merasa gerah dengan arus pemberitaan Hindia Baroe yang kerap mengkritik pemerintah Belanda dengan keras. Mereka meminta Salim melunak. Mengetahui hal ini, Agus Salim tak butuh waktu lama untuk mengambil keputusan, keesokan harinya, ia langsung mengundurkan diri. Mohamad Roem, salah seorang koleganya, sempat bertanya, "Mengapa reaksinya begitu kontan? Mengapa tidak berusaha mencari waktu agar tidak tergesa-gesa mencari pindah rumah, karena pendapatan sekonyong-konyong berhenti dnn tidak dapat membayar sewa rumah lagi?"
Salim menjawab, "Kalau saya terus menulis, hanya ada dua kemungkinan: saya tidak mempedulikan permintaan pemilik harian atau saya menyerah dan berkompromi dengan hari nurani saya," ujar Salim (Mohamad Roem, 1977).
Dan ternyata pria kelahiran Koto Gadang itu memilih opsi pertama. Roem menyebut soal rumah, lantaran selama di Jakarta, Salim kerap berpindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya. Ia menjalani "pola nomaden" ini bersama istri dan tujuh anaknya. Ia misalnya pernah tinggal di kawasan yang kini dikenal sebagai Jatinegara. Di sana ia dan keluarganya hanya menempati satu ruangan.
Karena sempitnya ruangan, koper berisi baju pun harus ditumpuk di pinggir dan beberapa kasur harus digulung. Kemiskinan memang nyaris selalu menghimpit kehidupan Agus Salim keluarganya, namun kondisi tersebut tidak membuat Agus Salim menggadaikan integritas.
Saat mengelola Hindia Baroe, ia tidak menjadikan harian itu sebagai corong Sarekat Islam. Pemberitaan tentang partai yang dipimpinnya hanya muncul sejauh berkaitan dengan kepentingan umum. Tulisan teman-temannya di partai akan dimuat bila dinilainya memang bermutu. Baginya perkawanan bukan alasan untuk sebuah perkongsian. Keteguhan Salim dalam memegang prinsip juga tergambar dari juga pernah menolak tawaran untuk menjadi menteri.
Ia tidak mau menyerah pada kekuasaan yang ia nilai waktu itu tidak sejalan dengan tujuan demokrasi dan kepentingan rakyat. Salim juga memilih angkat kaki dari keanggotaan Volksraad, karena merasa kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Ia pergi dan menyebut kegiatan dewan perwakilan rakyat itu sebagai "komedi omong yang disensor".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar