Dapatkan motivasi, artikel motivasi, kata bijak, inspirasi, semangat kerja, semangat belajar, dan tips sukses OR

TELADAN : Johannes Latuharhary

Johannes Latuharhary, sosok gubernur pertama Maluku yang dicintai rakyatnya. Sampai akhir hayatnya, pejuang kemerdekaan ini hidup dalam kesedehanaan.


Jumat pagi, 17 Agustus 1945. Seorang pria berpostur tinggi besar, berpenampilan selayaknya orang Indonesia bagian timur, mengenakan setelan jas berwarna putih-putih - sedang berdiri tegak di antara founding fathers lainnnya, yang mendampingi Sukarno membacakan naskah Proklamasi di rumah bernomor 56 di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sosok yang terlihat mencolok itu, tak lain adalah Johannes Latuharhary. Siapakah dia?

Oleh teman-temannya, Johannes Latuharhary biasa disapa dengan nama Nani. Kini, khususnya masyarakat yang tingggal di Jakarta, lebih mengenal Latuharhary sebagai seruas jalan di Kelurahan Menteng, Jakarta Pusat. Sejarah mencatat, pria kelahiran Saparua, Maluku, ini sebagai salah seorang pejuang kemerdekaan. Di masa pra-kemerdekaan, ia menjadi salah seorang anggota BPUPKI dan PPKI. Ia juga adalah salah seorang tokoh penting dalam perumusan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam sejarah perumusan proklamasi kemerdekaaan, Latuharhary dikenal sebagai salah satu tokoh penganut pluralisme yang menolak rumusan Piagam Jakarta, yang memuat tujuh kata "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" pada sila pertama-nya. Bagi Latuharhary, tujuh kata itu bisa membahayakan persatuan Indonesia. Daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama di luar Islam sangat mungkin menyatakan keluar dari Indonesia, yang waktu itu baru dideklarasikan. Episode perdebatan pemikiran ini tercantum dalam buku The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), karya sejarawan Boland BJ.Sebelum menjabat anggota BPUPKI dan PPKI, lelaki kelahiran Saparua, 6 Juli 1900, memiliki rekam jejak panjang sebagai salah satu tokoh pergerakan Indonesia.

Ia mulai membangun karier pergerakan ketika memperoleh beasiswa untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Di perkuliahan inilah, ia berkenalan dengan para mahasiswa yang bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI), yang di antaranya menjadi pendiri negeri ini, seperti Hatta, Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Abdul Syukur, dan Ali Sastroamidjojo. Semenjak muda, Latuharhary yang dibesarkan dalam sebuah keluarga guru ini sudah terbiasa hidup sederhana. Sebagai mahasiswa yang dikirim dengan beasiswa, uang sering menjadi masalah.

Sejarawan I.O Nanulita mengisahkan bagaimana Latuharhary (biasa dikenal dengan Nani) semasa kuliahnya sampai harus meminjam jas dari Ali Sastroamidjojo agar bisa mengikuti ujian. Meski kerap mengalami masalah keuangan, namun Nani berhasil menyelesaikan kuliahnya. Pada usia 27 tahun, ia lulus dan berhak menyandang gelar meester in de rechten (MR., sarjana hukum). Nani pun dari Belanda, atas rekomendasikan salah seorang dosennya di Leiden, Nani mendapatkan pekerjaan di Pengadilan Negeri Surabaya. Dua tahun berselang ia dipindahkan ke PN Kraksaan, sebuah kota kecil di Jawa Timur.

Meski bekerja di institusi pemerintah kolonial Belanda, namun hal itu tak mengubah prinsip Nani dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Terbukti, ia lebih memilih kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadinya. Dalam salah satu kisah diceritakan, bahwa suatu hari, Nani pulang ke rumah lalu meminta istrinya membuat nasi kuning untuk syukuran. Ketika sang istri menanyakan tujuan syukuran tersebut, sambil tertawa, Nani menjelaskan, bahwa syukuran itu dalam rangka 'gagal naik jabatan'. Rupanya, aktivitas Nani yang intens di Pergerakan Sarekat Ambon membuat Belanda gerah.

Akhirnya untuk menghentikan aktivitas Nani, Belanda membujuknya dengan cara menawarkan kenaikkan pangkat, namun tentu saja dengan syarat Nani harus meninggalkan aktivitasnya di pergerakan. Disodori penawaran tersebut Nani dengan tegas menolak. Ia lebih memilih tidak naik pangkat ketimbang mengorbankan kepentingan bangsanya. Perjalanan karier politik Nani juga ternyata menuntut pengorbanan pribadi. Nani yang selama kuliah di Belanda, sudah menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan asal Prancis, ini lebih memilih memutuskan hubungan cintanya dengan perempuan yang akan dinikahinya. Penyebabnya tak lain adanya pertimbangan dan masukan dari rekan-rekan sesama tokoh pergerakan yang tidak setuju ia menikahi wanita asing.Menurut pandangan para tokoh pergerakan, Nani sebagai tokoh pergerakan yang memperjuangkan citacita Indonesia merdeka, tidak pantas kalau ia beristrikan wanita asing.

Maka, demi kepentingan yang lebih besar, Nani pun kemudian memilih menikahi perempuan asal Maluku. Perjuangan Nani untuk republik terus berlanjut setelah kemerdekaan. Dalam pemerintahan awal republik, Johannes Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku. Ia menjabat dari tahun 1950 hingga 1954. Salah satu programnya untuk mengangkat kehidupan masyarakat Maluku adalah menjadikan Maluku sebagai provinsi yang bervisi pada pengelolaan sumber daya perikanan. Salah satu programnya untuk mewujudkan visi ini adalah dengan membangun pabrik pengalengan ikan di Desa Galaga dan pembangunan dermaga serta galangan kapal di Tanah Kecil di pusat Ambon. Dalam berbagai kesempatan, Nani selalu mengatakan bahwa laut bukan pemisah, melainkan pemersatu pulau-pulau di Indonesia. Setelah tidak menjabat sebagai gubernur, Nani kembali ke Jakarta untuk diperbantukan di Departemen Dalam Negeri. Pengabdian Nani pun akhirnya terhenti pada 6 November 1959.

Pagi hari, saat mengikat sepatunya untuk berangkat ke gereja, mendadak, Latuharhary jatuh pingsan. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Selama dua hari ia terbaring koma. Pada 8 November, dalam usia 59 tahun, ia mengembuskan napas terakhir.

Atas jasa-jasanya, Presiden Sukarno menganugerahi Nani, tanda kehormatan Bintang Mahaputra Tingkat III Kepergiannya yang tiba-tiba tentu saja menjadi pukulan berat bagi istrinya, Henriette (Yet) Latuharhary dan tujuh anaknya. Selain pengabdian dan pemikirannya, Nani nyaris tidak meninggalkan harta bagi istri dan ketujuh anaknya. Bahkan sampai akhir hayatnya ia belum memiliki rumah sendiri.

Untunglah, berkat bantuan kawan-kawan Nani, Yet mendapat pekerjaan di Mesir sebagai pengurus Wisma Indonesia. Kesempatan itulah yang memungkinkan Yet menyekolahkan anakanaknya. Sosok Nani boleh jadi sebuah ironi. Di tengah maraknya pejabat negeri yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi, menyalahgunakan kewenangan demi mengumpulkan harta kekayaan, Nani sepertinya ingin memberikan contoh, bahwa seorang pejabat harus membela kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

Di mata Mohammad Padang, Gubernur Maluku periode 1959- 1966, Nani merupakan pejuang yang membanggakan rakyat Indonesia. Seperti dituturkan kepada sejarawan I.O Nanulita, ia mengaku bangga kepada Nani. "Kalau ada yang bicara tentang kekayaannya, itu omong kosong. Ia adalah seorang pejuang miskin yang pada saat-saat terakhir hidupnya tidak bisa membayar biaya rumah sakit. Tragis ! Sedih!"

Biografi Singkat :
Mr. Johannes "Nani" Latuharhary (lahir di Ulath, Saparua, Maluku Tengah, Maluku, 6 Juli 1900 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 8 November 1959 pada umur 59 tahun) adalah seorang perintis kemerdekaan Indonesia. Beliau ini adalah keturunan keluarga besar fam atau marga Latuharhary dari negeri Haruku namun lahir dan besat di Ullath. Beliau mempunyai seorang istri yang bermana Henriette Carolina "Yet" Pattiradjawane seorang anak Raja negeri Kariuw Jacob Pattiradjawane, dan dari pernikahannya mereka dikaruniai 7 orang putra-putri. Putri sulungnya, Henriette Josephine atau Mans, menikah dengan negarawan Indonesia asal Maluku yaitu Josef Muskita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar