Dapatkan motivasi, artikel motivasi, kata bijak, inspirasi, semangat kerja, semangat belajar, dan tips sukses OR

Perbawa Prabowo

Perbawa
Prabowo .
Oleh: Kafil Yamin

MESKI saya wartawan, saya tak pernah
berjumpa langsung dengan Prabowo. Dengan
sejumlah jenderal lain pernah. Karena itu,
pengetahuan saya tentang Prabowo Subianto –
saya kira pengetahuan kebanyakan orang –
berasal dari sumber-sumber kedua atau ketiga.
Misalnya dari media yang mengutip beberapa
pernyataannya. Dan media itu mengutip pula
dari media lain. Atau dari cerita sesama
wartawan. Kebanyakan menjelaskan salah satu
sisi pribadinya. Dan sisi itu yang itu-itu juga:
Jenderal pelanggar HAM, anti asing, penculik
aktivis.
Maka, yang tergambar di kepala saya adalah
seorang yang otoriter, menakutkan, tinggi
hati.
Sejak lama, Prabowo memang bukan figur
kesayangan media, seperti sejumlah tokoh lain.
Lelaki yang suka berkebun ini hampir tak
pernah menjadi narasumber wartawan untuk
berita-berita politik, sosial atau budaya. Iya
hanya dimintai komentar untuk isu-isu yang
menyangkut citra kelabu dirinya.
Dan memang, Prabowo sendiri tak suka
melayani wartawan. Ia bukan seorang pencitra
diri. Ini pernah dikatakannya kepada seorang
wartawan asing: “One of my weaknesses is
dealing with the media, with the people like you
[Salah satu kelemahan saya adalah berhadapan
dengan media, dengan orang seperti anda].”
Saya bisa bayangkan, betapa tidak nyaman
wartawan silih berganti datang kepadanya
hanya untuk mengulang-ulang pertanyaan:
“Apakah anda bertanggung jawab atas
penculikan aktivis? Kenapa anda merencanakan
kudeta? Kenapa anda dipecat?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sudah dia
jawab berulangkali, dengan logika bersahaja,
dengan bahasa yang sangat lugas. “Saya
memimpin tiga puluh empat battalion waktu
itu. Jika saya mau ambil alih kekuasaan,
apakah ada yang bisa mencegah saya? Dan
cukup banyak yang mendorong saya untuk itu.
Tapi itu tidak saya lakukan. Kenapa? Karena
saya prajurit. Dan prajurit itu penjunjung dan
penjaga konsititusi,” tegasnya suatu saat
kepada seorang wartawan asing, dalam bahasa
Inggris yang sangat bagus.
Tapi berita yang menyebar tetap saja citra-
citra yang tadi: Pelanggar HAM, penanggung
jawab Tragedi Semanggi. Prabowo tak pernah
menggugat media, tak pernah mengkanter. Ia
terus menjawab pertanyaan, meskipun
jawaban-jawabannya menguap dalam sentiment
negatif massa anti Soeharto.
Dan setiap musim pilpres, saat namanya muncul
sebagai calon presiden, isu-isu itu mengemuka
lagi. Di luar ‘musim’ itu, saya beberapa kali
menonton wawancaranya tentang ekonomi dan
kewirausahaan. Saya tertarik pada minatnya
yang kuat untuk membangun ekonomi rakyat.
Dia berbicara sebagai Ketua Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia [HKTI]. Dia punya
banyak data tentang ekonomi masyarakat,
jumlah pasar tradisional yang tergusur mall,
bank yang lebih berpihak kepada pengusaha
besar, pertanian yang makin terpinggirkan,
perairan-perairan Indonesia yang dimalingi
nelayan asing, dsb.
Gaya bicaranya umum saja. Bukan gaya
seorang orator. Tapi lugas dan jelas, dengan
bahasa yang rapih, mencerminkan pikirannya
yang runut dan tertib. Tidak meledak-ledak.
Enak untuk disimak – bagi mereka yang
mementingkan isi ketimbang gaya. Ia lebih
tampak sebagai pemikir.
Ketika ia mencalonkan lagi di musim pilpres
sekarang, dan peluangnya lebih besar dari
waktu-waktu sebelumnya, saya sudah menduga
serangan kepadanya soal HAM akan meningkat.
Dan memang terjadi. Dari pengguna fesbuk
sampai pengamat, dari intelektual abal-abal
sampai jenderal, mulai ‘nyanyi’ lagi soal
‘catatan masa lalu’ sang Jenderal, soal istri,
soal haji sampai soal ngaji. Saya khawatir dia
tak akan kuat menghadapi gugatan, sinisme,
hujatan yang begitu luas. Beberapa tokoh yang
tadinya tak pernah berkonfrontasi dengan
Prabowo, kini ikut menembaknya, demi
mengambil hati konstituen politik. Prabowo
mungkin akan menyerang balik. Akan meradang.
Tibalah acara pengumuman daftar nomor urut
capres dan cawapres. Prabowo akan datang
dengan penampilan jumawa di hadapan orang-
orang, pikir saya. Dengan koalisi besar di
belakangnya, dengan dukungan lebih besar, dia
akan langsung duduk di tempatnya dan
membiarkan perhatian orang tertuju
kepadanya.
Tidak. Dia masuk, menghampiri semua tokoh
yang hadir, dan para tokoh pun berdiri. Terasa
sekali wibawa dan kharisma Prabowo di ruangan
itu. Ia pun menghampiri pesaingnya Jokowi dan
Jusuf Kalla, dan Megawati yang tidak ikut
berdiri, memberi hormat. Menyalami mereka.
Sungguh pemandangan seorang ksatria,
setidaknya bagi saya.
Kemudian dia maju; menyampaikan pidato
singkat. Dia menyampaikan penghargaan kepada
seluruh yang hadir. Menyebut nama mereka
satu persatu. Menyebut nama pesaingnya
Jokowi dan Jusuf Kalla dengan hormat.
Tampil Jokowi, figur merakyat dan sederhana,
dia malah kampanye. Dan tidak memberi salam
kepada Prabowo-Hatta.
Tiba saat deklarasi pemilu damai. Lagi-lagi
Prabowo berpidato dengan menyejukkan semua
pihak; menyebut Jokowi dan Kalla sebagai
“saudara saya juga”. Meski Jokowi tak
membalas keramahan Prabowo, tapi saya makin
jatuh hati pada Prabowo. Orang-orang
meramaikan sikap Jokowi yang kaku dan
terlihat tegang.
Sampai menjelang debat capres 9 Juni kemarin,
saya sudah berpikiran saya tidak akan melihat
Prabowo beradu argumentasi ala debat. Saya
sudah menduga dia akan berbicara seperti
biasa, lebih memusatkan diri pada penyampaian
pikiran ketimbang mengundang simpati.
Tapi bagaimana kalau dia dikorek-korek soal
pelanggaran HAM di hadapan ratusan juta
pasang mata melalui siaran langsung teve?
Ingat para politisi kita yang mudah sekali
meledak kalau tersinggung, terlihat di layar
teve. Prabowo bisa begitu, saya kira.
Dan momen itu datanglah: Debat Capres.
Orang-orang mungkin mengharapkan Prabowo
akan tampil sebagai pendebat ulung, dan itu
tidak susah baginya. Saya sudah orasi-orasi
hebat. Itu hanya untuk kepuasaan sesaat.
Obama hanya menarik saat kampanye karena
kepiawaiannya berpidato, setelah jadi Presiden
sama membosankannya dengan Bush.
Saya tidak perlu Prabowo yang berapi-api dan
beragitasi. Dan saya senang karena ternyata
dia tampil sangat ‘biasa-biasa saja’. Namun
yang di luar dugaan saya, dia seperti tidak
punya keinginan untuk mengungguli Jokowi-
Hatta, padahal saya tau dalam suatu
wawancara dia ‘menghabisi’ wartawan Asia
News Channel, dengan logika cerdas. Dan si
wartawan bule itu pun mengkerut.
Ia tidak lakukan ini kepada Jokowi. Bahkan
ketika diberi kesempatan bertanya kepada
Jokowi, Prabowo ‘hanya’ menanyakan yang
datar-datar saja, bagaimana cara Jokowi nanti
menangani tuntutan tuntutan pemekaran
wilayah dan pilkada yang berbiaya mahal. Ia
tidak menanyakan soal kasus korupsi Trans-
Jakarta, atau ingkar janjinya kepada
masyarakat Jakarta. Dia tidak menyerang. Dia
tidak tendensius. Dia tidak meninggikan diri.
Sebaliknya, Jokowi berkali-kali menyebut
dirinya ‘yang terbaik’ di PDIP. Dan ‘rekam
jejak’. Dan ketika diberi kesempatan bertanya
kepada Prabowo, yang sudah diduga itu muncul:
Jusuf Kalla mempersoalkan pelanggaran HAM
Prabowo di masa lalu.
Yang diluar dugaan saya, Prabowo cukup
menjelaskan bahwa dia prajurit yang
melaksanakan tugas. Dia tidak ‘membongkar’
atasannya. Hanya menyarankan Kalla untuk
bertanya kepada atasannya waktu itu. Tentu
dia bisa menambahkan kalimat: “Yang sekarang
berada di kubu Bapak.” Tapi tidak.
Inikah jenderal penculik itu? Jenderal kejam
itu? Perencana makar itu? Kok begitu
pengalah. Begitu santun. Begitu hormat.
Gambaran tentang Prabowo berbahan
‘informasi seken’ di kepala mendadak berubah.
Saya jatuh cinta padanya.
Bagi saya itu sudah cukup. Tak perlu ada debat
Capres kedua, ketiga.
Apakah ia sedang ber- acting ? Sedang
mematut-matut diri? Untuk mendapat simpati
publik? Alhamdulillah, berbekal 20 tahun lebih
hidup sebagai wartawan, saya tau persis mana
sikap yang dibuat-buat, mana polesan, dan
mana yang asli dari dalam. Prabowo jelas tidak
pandai ber- acting. Itu adalah perbawa
Prabowo.
Tunggu. Tapi kenapa sejak lama ia dicitrakan
sedemikian buram, bahkan oleh beberapa
petinggi TNI? Oleh lingkaran kekuasaan?
Jawabannya adalah kisah klasik tentang
Pangeran pewaris tahta di antara para
petinggi kerajaan yang mengincar kekuasaan
sang raja yang tengah udzur. Sang Pangeran
terlalu cemerlang, ia hambatan terbesar bagi
para peminat kekuasaan. Dan kerena itu harus
ada jalan untuk menyingkirkannya. Dan
Prabowo pun tersingkir dari lingkaran
kekuasaan sedemikian lama.
Prabowo pun berminat pada kekuasaan, tapi
dengan dorongan untuk menjadikan negerinya
terhormat, seperti yang saya dambakan. Dia
ingin naik kepada kekuasaan atas kehendak
rakyat yang dicintainya. Dia membangun
partai. Dia pasang iklan. Semua yang ia
lakukan dalam usaha itu berdasarkan
konstitusi, aturan dan etika.
Bagi saya, Prabowo adalah obat ‘herbal’ bagi
masyarakat politik Indonesia sekarang yang
kehilangan keindonesiaannya: saling serang,
saling hujat, saling sikut, mengabaikan rasa
malu. Pelipur bagi mental gampangan para
pemimpin negeri ini: memberi konsesi kepada
penanam modal asing adalah ‘prestasi’. Dan
karena itu, di atas bumi yang kaya raya ini,
manusianya miskin dan negaranya pengutang
besar.
Prabowo ingin Indonesia berdaulat, terhormat
dan bermartabat. Pesaingnya juga pasti
menginginkan demikian. Kalau semua pihak
berkeinginan dan berniat sama, tak perlu
saling menjatuhkan. Saya yakin begitu pikiran
Prabowo. Saya menaruh kepercayaan pada
orang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar