Muhammad Natsir pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan, anggota parlemen, dan puncaknya pernah menjabat sebagai Perdana Menteri ke-5 RI periode 1950-1951. Ia tidak hanya seorang pejabat negara dan politisi, tapi juga seorang ulama. Pendiri sekaligus pemimpin Partai Masyumi. Di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Pria kelahiran Sumatera Barat, 17 Juli 1908 ini tetaplah sosok yang sederhana, jujur, dan rendah hati. Ketegasannya sebagai negarawan sekaligus ulama, menjadikannya sebagai sosok yang disegani sekaligus ditakuti musuh-musuh politiknya. Tak jarang, ia keluar masuk penjara karena bersuara lantang membela kebenaran.
Tentang kesederhanaan Natsir, banyak sudah yang mengisahkan. Seorang putri Natsir, Sitti Muchliesah, memiliki kenangan teramat dalam mengenai sosok sang ayah. Suatu ketika, dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Lies, begitu Muchliesah dipanggil, bersama empat adik dan sepupunya, mencuri dengar pembicaraan Natsir dengan seorang tamu dari Medan. Mereka mendengar sang ayah hendak dikasih sumbangan mobil.
Lies pun menyangka mobil itu, Chevrolet Impala, yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan HOS Cokroaminoto), Jakarta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan besar buatan Amerika itu memang tergolong ”wah” pada 1956. Saat itu Natsir, yang menjabat sebagai anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.
“Pandai-pandailah mensyukuri nikmat yang ada,” Begitu pesannya kepada putrinya. Bukan semata-mata karena penolakan Impala, namun juga untuk berbagai sisi kehidupan yang lain. Ketika sang ayah menjadi Menteri Penerangan, 1946, misalnya, Lies mengenang bahwa keluarga mereka kerap menumpang di rumah orang. Pernah mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat sang ayah, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pernah pula, ketika pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim.
Periode menumpang di rumah orang, baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa, pada 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan. ”Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kenang Lies. Tidak hanya keluarga yang mengenang kesederhanaan Natsir. George McTurnan Kahin, sosiolog asal Amerika, juga sangat terkesan dengan pribadi Natsir. Dalam bukunya, Natsir : 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan - Kahin bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan.
Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini kepada Kahin. Tapi, ternyata bukan itu yang membuat Kahin terpukau kepada Natsir. ”Ia memakai kemeja bertambal, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin, yang juga merupakan guru besar Universitas Cornell, USA. Apa yang dikatakan Kahin, bisa jadi sesuai dengan pengalaman Yusril Ihza Mahendra pada masa yang berbeda. Yusril, yang pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan atasannya itu acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. “Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru,” kata Yusril.
Perdana Menteri Yang Terus Sederhana
Ya, begitulah kesederhanaan seorang Natsir. Bahkan, di puncak karier politiknya sebagai Perdana Menteri, 1950, sekalipun. Saat itu, keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Natsir menempati rumah Soekarno, karena tidak diperkenankan menghuni rumah di Jalan Jawa. Alasannya, rumah tersebut sempit dan kusam, sehingga dianggap tidak layak buat pemimpin pemerintah. Pada masa itulah kehidupan keluarga Natsir dibatasi protokoler dan dipenuhi berbagai fasilitas.
Namun, semua fasilitas tidak membuat keluarga Natsir manja dan lupa diri. Misalnya saja, Lies yang saat itu duduk di kelas II SMP tetap naik sepeda ke sekolah. Begitu juga dengan adik-adiknya, yang diantar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Sedangkan sang ibu, masih kerap berbelanja ke pasar dan memasak sendiri. “Keluarga kami sama sekali tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas,” kata Lies.
Kisah tentang kejujuran Natsir terus bergulir. Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri di tahun 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis yang saldonya lumayan banyak. Maria mengatakan, dana itu menjadi hak Perdana Menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantongnya. Tidak hanya menolak sisa dana taktis. Di ujung jabatannya tersebut, Natsir juga meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Lalu, ia pulang berboncengan sepeda dengan mantan sopirnya.
Biografi Singkat :
Mohammad Natsir adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia.
Lahir: 17 Juli 1908, Kota Solok, Indonesia
Meninggal: 6 Januari 1993, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
Partai: Majelis Syuro Muslimin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar