Siapa tak kenal Mochtar Lubis? Pria kelahiran Padang, 7 Maret 1922, ini begitu masyhur sebagai jurnalis berintegritas tinggi. Berbagai sepak-terjangnya, memperlihatkan bahwa pendiri Harian Indonesia Raya ini adalah sosok yang tak kenal takut kepada kekuasaan. Jika itu dianggapnya keliru, Mochtar tak segan-segan melontarkan kritik tajam kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Atas keberaniannya itu, tak heran jika dia tidak hanya dikenal pada masanya saja, namun juga tetap dikenang hingga sekarang.
“Kebenaran, kebebasan, hak asasi manusia, dan antiamplop,“ begitulah selalu pesan Mochtar kepada semua anak buahnya. Prinsip tentang kebenaran tersebut telah mendorong Mochtar untuk melontarkan kritik-kritik tajam, termasuk berbagai kasus korupsi yang terjadi. Atas keberaniannya itu, Mochtar sempat dipenjara oleh dua rezim sekaligus: Orde Lama dan Orde Baru.
Pada 1956, melalui Indonesia Raya, Mochtar gencar memberitakan tentang rencana penahanan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani sesaat sebelum berangkat ke London. Kala itu, Roeslan diduga terlibat korupsi bersama Lie Hok Thay. Penahanan Roeslan akhirnya gagal akibat intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Sedangkan Indonesia Raya, akhirnya diberedel pemerintah tengah yang berkuasa.
Setelah Indonesia Raya tidak lagi terbit, pada 1957 dia dikenai tahanan rumah dan kemudian dipenjarakan di Madiun sampai 1961. Mochtar dipenjara bersama mantan PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo, dan lain-lain. Semuanya dinilai sebagai oposan Presiden Soekarno.
Pada 1968, Indonesia Raya terbit kembali. Mochtar kemudian melancarkan investigasi mengenai korupsi di Pertamina yang dipimpin Ibnu Sutowo. Utang yang dibuat Ibnu Sutowo di luar negeri mencapai USD2,3 miliar. Indonesia Raya sendiri, akhirnya resmi bubar pada 1974 setelah diberedel pemerintahan Soeharto. Pemberangusan ini menyusul peristiwa Malari, ketika para mahasiswa mendemo PM Jepang Tanaka. Selain Indonesia Raya, koran lain yang dibreidel adalah Pedoman dan Abadi.
Begitulah Mochtar Lubis, sosok berkarakter yang memiliki integritas tinggi. Atas keberaniannya itu, orang-orang di kampung halamannya, Mandailing, memberikan sebutan kehormatan kepadanya. Menurut putranya, Ade Armand Lubis, tatkala Mochtar beserta istri dan anak-anaknya pulang kampung, dia dinyatakan sebagai Raja Pandapotan Sibarani Sojuangan. Artinya, orang yang berani dan berjuang.
Tak hanya itu. Banyak penghormatan lain diberikan kepadanya. Antara lain oleh Mochtar Pabottingi (LIPI). Peneliti LIPI itu menyebut Mochtar Lubis sebagai person of character atau insan yang berkarakter. Seperti itulah Mochtar Lubis. Meski akhirnya Indonesia Raya benar-benar mati, namun kesan terhadap Mochtar tak lantas pupus. Banyak tokoh negeri ini mengakui integritasnya. Gunawan Harmoko, mantan wartawan Indonesia Raya yang turut membongkar kasus korupsi, mempunyai kesan tentang Mochtar. “Ia orang yang luar biasa, orang besar dalam dunia pers. Sampai sekarang di antara orang-orang pers yang sudah meninggal dan masih hidup, tidak ada yang lebih hebat daripada Mochtar Lubis,” kata Gunawan.
Mochtar pernah didekati seorang utusan penguasa Orde Baru dalam rangka “menjinakkan”. Utusan itu mengatakan kepada Mochtar bahwa di Kalimantan masih ada ratusan ribu hektare hutan yang belum bertuan dan mempersilakan Mochtar menggarapnya. Utusan tersebut menambahkan, Mochtar tak perlu risau memikirkan perizinnnya karena hak pengusahaan hutan (HPH)- nya sudah dipersiapkan. Namun, apa yang terjadi? Mochtar justru menampiknya dengan halus. “Anda sajalah yang menggarap karena Anda lebih ahli soal hutan. Keahlian saya cuma tulis-menulis,” kata Mochtar.
Biografi Singkat :
Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan.
Lahir: 7 Maret 1922, Kota Padang, Indonesia
Meninggal: 2 Juli 2004, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia
Buku: Harimau! Harimau!, Jalan Tak Ada Ujung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar