Melepas Belenggu Kekikiran
Oleh: K.H. Abdullah Gymnastiar
Dalam keseharian kehidupan kita, begitu sangat sering dan nikmatnya ketika kita bercermin. Tidak pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap itu-itu juga, aneh bukan? Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan kita selalu menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya kurang lebih karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.
Sebabnya penampilan kita adalah juga cermin pribadi kita. Orang yang necis, rapih, dan bersih maka pribadinya lebih memungkinkan untuk bersih dan rapih pula. Sebaliknya orang yang penampilannya kucel, kumal, dan acak-acakan maka kurang lebih seperti itulah pribadinya.
Tentu saja penampilan yang necis dan rapih itu menjadi kebaikan sepanjang niat dan caranya benar. Niat agar orang lain tidak terganggu dan terkecewakan, niat agar orang lain tidak berprasangka buruk, atau juga niat agar orang lain senang dan nyaman dengan penampilan kita.
Dan ALLOH suka dengan penampilan yang indah dan rapih sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal". "Sesungguhnya ALLOH itu indah dan menyukai keindahan". Yang harus dihindari adalah niat agar orang lain terpesona, tergiur, yang berujung orang lain menjadi terkecoh, bahkan kemudian menjadi tergelincir baik hati atau napsunya, naudzhubillah.
Tapi harap diketahui, bahwa selama ini kita baru sibuk bercermin 'topeng' belaka. Topeng 'make up', seragam, jas, dasi, sorban, atau 'asesoris' lainnya. Sungguh, kita baru sibuk dengan topeng, namun tanpa disadari kita sudah ditipu dan diperbudak oleh topeng buatan sendiri. Kita sangat ingin orang lain menganggap diri ini lebih dari kenyataan yang sebenarnya. Ingin tampak lebih pandai, lebih gagah, lebih cantik, lebih kaya, lebih sholeh, lebih suci, dan aneka kelebihan lainnya. Yang pada akhirnya selain harus bersusah payah agar 'topeng' ini tetap melekat, kita pun akan dilanda tegang dan was-was takut 'topeng' kita terbuka, yang berakibat orang tahu siapa kita yang 'aslinya'.
Tentu saja tindakan tersebut tidak sepenuhnya salah. Karena membeberkan aib diri yang telah ditutupi ALLOH selama ini, adalah perbuatan salah. Yang terpenting adalah diri kita jangan sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah kita jadikan saat bercermin tidak hanya 'topeng' yang kita amat-amati, tapi yang terpenting adalah bagaimana isinya, yaitu diri kita sendiri.
Mulailah amati wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya bersinar indah di Surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar dalam bara jahanam?" Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata ini yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap ALLOH Yang Mahaagung, menatap keindahan Surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi, menatap kekasih-kekasih ALLOH kelak?
Ataukah mata ini yang akan terbeliak, melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap selama ini?"
Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thoyibah, 'laillahailallah', ataukah akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akherat akan memakan buah zakun yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah serta orang yang terluka dengan mulut kita ini."
"Wahai mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Wahai mulut yang malang betapa banyak dusta yang engkau ucapkan. Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Berapa banyak kata-kata manis semanis madu palsu yang engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur? Betapa jarangnya engkau menyebut nama ALLOH dengan tulus?
Betapa jarangnya engkau syahdu memohon agar ALLOH mengampuni?" Lalu tataplah diri kita tanyalah, "Hai kamu ini anak sholeh atau anak durjana, apa saja yang telah kamu peras dari orang tuamu selama ini dan apa yang telah engkau berikan? Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya. Tidak tahukah engkau betapa sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!
"Wahai tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama di Surga atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar membara jahanam terasang tanpa ampun derita tiada akhir".
"Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang engkau lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau dzhalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba ALLOH yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau napas?"
"Wahai tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu? Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu atau selemah daun-daun yang mudah rontok?
Apakah hatimu seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotoranmu?"
Lalu ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau ini makhluk mulia atau menjijikan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau sembunyikan di balik penampilanmu ini?" "Apakah engkau ini dermawan atau sipelit yang menyebalkan?" Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu".
"Apakah engkau ini sholeh atau sholehah seperti yang engkau tampakkan? Khusukkah shalatmu, dzikirmu, doamu, ikhlaskah engkau lakukan semua itu? Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk riya tukang pamer!"
Sungguh betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa yang tersembunyi, betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus topeng-topeng duniawi" Wahai sahabat-sahabat sekalian, sesungguhnya saat bercermin adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.
Tiga Bahaya Sifat Kikir
Oleh Reza Fahlevi
Sudah menjadi fitrah manusia untuk mencari harta selama hidup di dunia. Setiap manusia pasti berusaha mencari harta untuk mencukupi diri dan keluarganya.
Begitu halnya dengan sifat kikir atau pelit. Sifat ini juga sudah menjadi fitrah tersendiri bagi manusia. Namun hanya sedikit sekali dari kita yang mampu mengendalikan fitrah ini ke arah yang lebih dicintai oleh Allah.
Imam Ibnu Jauzi dalam kitabnya at-Thibbu ar-ruhi mendefinisikan kikir sebagai sifat enggan menunaikan kewajiban. Baik itu bersifat harta benda atau jasa.
Pada praktiknya, sifat kikir banyak ditemui saat seseorang mimiliki kecukupan harta. Di saat inilah manusia diuji untuk saling berbagi.
Jika orang tersebut memiliki keimanan yang kuat, sudah tentu dia dengan mudah mengeluarkan hartanya untuk sesama. Namun jika tidak maka sifat kikir dan hobi menumpuk-numpuk harta telah menguasai jiwanya.
Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak ada penyakit (hati) yang lebih berbahaya dari sifat kikir.” Hadis ini dengan jelas menerangkan bahwa penyakit kikir bukanlah penyakit yang biasa.
Setidaknya ada tiga bahaya besar dari penyakit kronis ini. Pertama, kikir senantiasa menjadikan majikannya menjadi orang yang cinta terhadap dunia secara berlebihan.
Kedua, menghilangkan sifat peduli terhadap mereka yang tidak mampu dan membutuhkan.
Ketiga, sifat kikir menularkan sikap hobi menimbun-nimbun harta.
Untuk itu Imam Ibnu Jauzi memberikan beberapa obat penangkal dari sifat kikir.
Pertama, senantiasa merenungi bahwa mereka yang tidak mampu juga masih merupakan saudara kita. Karena manusia berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam as
Kedua, mensyukuri atas segala kelebihan yang telah Allah beri. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar