Nafasnya
terengah-engah. Keringat bercucuran di dahinya. Badannya basah kuyup
dengan peluh. Namun, senyumnya mengembang menyambut kedua orangtuanya
yang baru saja pulang dari kantor. Dengan bangga ia bercerita, “Papa,
Mama, lihat, aku berhasil mendorong sepeda. Aku kuat ‘kan Ma? Aku
berhasil mendorong sepeda sampai tiga putaran!”
Bapak
dan ibunya tersenyum sekaligus terpana melihat polah anak sulungnya
tersebut. Bagaimana tidak, sepeda yang didorongnya itu sepeda milik anak
mereka dan anak perempuan yang berada di atas sadel sepeda dan
didorong-dorong oleh anak mereka itu… anak pembantu mereka!
Namun,
kedua orangtuanya memutuskan untuk tidak memarahi anak sulung mereka
itu. Mereka justru menyuruh anak laki-laki mereka itu untuk mandi dan
berganti pakaian. Juga bukan sekali dua kali mereka melihat anak sulung
mereka itu justru memberikan makanan bagiannya pada anak pembantunya,
meski si anak pembantu telah diberikan makanan yang sama juga dalam
porsi yang sama.
Ketika
besar, anak laki-laki sulung itulah yang selalu berusaha bertanggung
jawab melindungi adik-adiknya. Dia juga yang bekerja keras melakoni
semua usaha hingga bisa meringankan beban kedua orangtuanya yang hanya
berpenghasilan pas-pasan dalam membiayai pendidikan keempat adiknya.
Bukan atas permintaan orangtuanya tetapi atas kesadarannya sendiri
sebagai seorang kakak dan sebagai seorang laki-laki yang “lebih kuat”.
Tak
hanya itu, ketika kemudian bisnisnya berkembang pesat, tangannya ringan
membantu kaum dhuafa. Tak hanya karena kedermawanan tetapi ia juga
bersusah-payah mendirikan organisasi sosial yang menaungi relasi antara
para hartawan sebagai orangtua asuh dan anak-anak dhuafa sebagai anak
asuhnya.
Tumbuh dari Usia Dini
Begitulah,
pribadi dan perilaku yang positif tentunya tak akan muncul tiba-tiba.
Semuanya melalui proses yang membuat pribadi positif itu tumbuh dan
berkembang. Bila saja di masa kecilnya, orangtua anak tersebut justru
memarahi anaknya yang mendorong-dorong sepeda (dengan anak pembantu yang
malah duduk di atasnya) atau melarang anaknya memberikan makanan kepada
anak pembantunya, kemudian menegaskan posisinya sebagai majikan dan
anak pembantu itu adalah pelayan, tentu anak laki-laki itu tak akan
berkembang menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan mudah berbagi
seperti sekarang.
Segala
sesuatunya memang dimulai dari kita sebagai orangtua dan bagaimana kita
memperlakukan anak-anak kita sedari kecil. Menanamkan kesadaran untuk
menjadi pribadi yang bertanggung jawab, tentu juga tak cukup dengan
sekadar memberikan ceramah tentang pentingnya menjadi orang yang
bertanggung jawab, tanpa memberikan contoh, dorongan, dan kesempatan
bagi anak untuk bisa bertanggung-jawab atas hal-hal yang harus
dilakukannya.
Bila
dalam kisah di atas, anak laki-laki tersebut diberikan kesempatan untuk
bertanggungjawab atas kenyamanan permainan mereka sebagai anak lelaki
yang lebih pantas untuk mendorong, maka kita juga bisa memberikan
kesempatan pada anak-anak balita kita untuk makan sendiri, walaupun
sedikit mengotori lantai. Atau, membiarkan anak-anak kita yang telah
duduk di kelas 5 atau kelas 6 SD untuk mencuci pakaian mereka sendiri.
Walau mungkin, kita harus terus memandunya hingga mereka bisa mencuci
pakaian dengan tingkat kebersihan yang diharapkan.
Bersabar dalam Kasih sayang
Percayalah
bahwa anak-anak bahkan bisa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih
baik dengan caranya sendiri. Cara yang mungkin menurut kita tak biasa.
Namun justru membawa dampak yang luar biasa bagi jiwanya karena lahir
dari inisiatif dan kemampuannya. Bersabarlah sejenak untuk berusaha
memahami mereka, kemudian doronglah mereka untuk melakukan yang lebih
baik dengan bimbingan dan kasih sayang. Sebagaimana Allah SWT berfirman,
“Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling
menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran” (Qs. Al-Ashr 1-3).
Mari
menggunakan waktu yang kita miliki sekarang untuk membangun pribadi dan
perilaku positif anak di masa depan. Jangan sampai, hanya karena
kemarahan sesaat dan ketidaksabaran yang tidak mampu kita redam, kita
dan anak-anak kelak menuai kerugian di masa datang. Yaitu generasi yang
tak mampu bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, generasi yang
lemah, serta generasi yang tak mampu menggerakkan hati mereka untuk
membahagiakan orang lain. Bersabarlah dan bimbinglah sumber : http://www.voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar